Generasi Z sering dianggap sebagai generasi yang paling rentan terhadap FOMO (Fear of Missing Out). Mereka tumbuh di tengah banjir informasi dan media sosial, yang membuat mereka terus merasa harus update setiap saat. Fenomena FOMO generasi Z ini nggak cuma sekadar keinginan untuk ikut tren, tapi juga berdampak serius pada kesehatan mental. Mereka bisa merasa cemas atau minder kalau ketinggalan berita terbaru atau acara seru. Padahal, hidup nggak selalu harus mengikuti arus utama. FOMO bisa bikin mereka lupa menikmati momen yang benar-benar penting. Ini jadi tantangan tersendiri buat generasi yang sebenarnya punya banyak potensi.
Baca Juga: Privasi Email dan Cara Membuat Email Aman
Apa Itu FOMO dan Dampaknya pada Generasi Z
FOMO (Fear of Missing Out) adalah perasaan cemas atau khawatir karena merasa orang lain mengalami hal-hal lebih menyenangkan atau penting kita kita. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Dr. Dan Herman pada tahun 2000-an dan semakin relevan di kalangan Generasi Z. Menurut American Psychological Association, FOMO bisa memicu stres berlebihan karena tekanan untuk selalu terhubung dengan dunia luar.
Generasi Z, yang tumbuh dengan smartphone dan media sosial, paling rentan mengalami ini. Mereka sering merasa harus update terus—entah itu tren terbaru, meme viral, atau acara seru yang dihadiri teman-teman. Akibatnya, banyak dari mereka sulit fokus karena otak terus terdistra notifikasi notifikasi dan rasa "ketinggalan". Sebuah studi dari Journal of Social and Clinical Psychology bahkan menunjukkan korelasi antara FOMO dengan penurunan kesejahteraan mental.
Dampaknya nggak main-main: kecemasan sosial, kurang tidur, sampai kecenderungan membandingkan diri secara berlebihan. Yang bikin parah, algoritma media sosial seperti Instagram atau TikTok justru memperkuat lingkaran ini dengan terus menampilkan konten "hidup sempurna" orang lain. Tanpa disadari, Generasi Z terjebak dalam siklus scroll-scroll-stres.
Tapi FOMO nggak selalu negatif. Dalam kadar wajar, ini bisa jadi motivasi untuk eksplorasi atau sosialisasi. Masalahnya, ketika berlebihan, Generasi Z justru kehilangan momen nyata karena sibuk mengurusi yang virtual. Mereka perlu belajar memfilter mana yang penting dan mana yang cuma ilusi di layar.
Baca Juga: Optimasi SEO Lokal dengan Google Bisnis
Perbandingan FOMO Generasi Z dan Milenial
Generasi Z dan Milenial sama-sama mengalami FOMO, tapi dengan dinamika yang beda. Milenial (kelahiran 1981-1996) mengenal FOMO ketika media sosial masih baru—seperti Facebook atau Twitter awal. Mereka mengalami transisi dari dunia analog ke digital, jadi FOMO-nya lebih terbatas pada "event fisik" seperti konser atau kumpul-kumpul. Sementara Generasi Z (lahir 1997-2012) lahir langsung di tengah banjir konten digital, membuat FOMO mereka lebih intens dan multidimensi.
Menurut Pew Research Center, Milenial cenderung khawatir ketinggalan pengalaman nyata ("Aku nggak dateng ke reunion kemarin, padahal seru banget katanya"), sedangkan Gen Z lebih stres tentang hal-hal viral dan tren online ("Aku belum nonton series yang semua orang bahas!"). Media sosial seperti TikTokels memperels memperels memperparah ini karena kontennya cepat berganti—kalau nggak update sehari saja, rasanya sudah kudet.
Perbedaan lainnya: Milenial lebih bisa "offline" karena terbiasa hidup sebelum smartphone mendominasi. Sementara Gen Z, menurut studi dari Common Sense Media, rata-rata menghabiskan 7+ jam sehari di depan layar. Ini bikin FOMO mereka lebih konstan dan sulit dihindari.
Tapi ada kesamaan: kedua generasi ini menggunakan FOMO sebagai alat validasi sosial. Bedanya, Milenial mungkin cuma posting 1-2 foto setelah acara, sementara Gen Z akan live-update setiap detik lewat Story atau TikTok. Keduanya mencari pengakuan, tapi skalanya berbeda.
Yang menarik, Milenial lebih mungkin merasa FOMO tentang pencapaian karier ("Teman-teman sudah beli rumah, aku kapan?"), sementara Gen Z lebih cemas tentang identitas dan eksistensi digital ("Postinganku kok sepi likes ya?"). Ini menunjukkan bagaimana teknologi mengubah cara kita memandang "ketinggalan".
Baca Juga: Pendidikan dan Pelatihan PAFI Pulau Simeuleuceut
Pengaruh Media Sosial pada Fenomena FOMO
Media sosial adalah bahan bakar utama FOMO—algoritmanya dirancang untuk membuat kita terus kembali dan merasa "tertinggal". Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter membanjiri pengguna dengan konten yang sengaja dipilih untuk memicu rasa penasaran dan kecemasan. Research dari MIT menunjukkan bahwa notifikasi, infinite scroll, dan desain "pull-to-refresh" sengaja dibuat adiktif, memperkuat siklus FOMO.
Generasi Z paling merasakan efek ini. Coba bayangkan: kamu buka TikTok, lalu muncul video temanmu yang lagi jalan-jalan ke Jepang, disusul reels orang asing pamer mobil baru, terus story gebetanmu lagi nongkrongu.u. Otak langsung memproses ini sebagai "semua orang hidup lebih baik dariku"—padahal itu cuma highlight reel. Menurut Journal of Behavioral Addictions, paparan terus-menerus terhadap konten "sempurna" ini meningkatkan risiko anxiety dan depresi.
Yang bikin lebih parah: engagement metrics (like, view, comment) jadi tolok ukur validasi sosial. Ketika postinganmu dapat like sedikit, rasanya kayak dikucilkan—padahal mungkin cuma algoritmanya lagi nggak mendukung. Studi dari Yale University menemukan bahwa Gen Z sering menghapus konten yang kurang "viral", karena takut dianggap nggak update.
Tapi media sosial nggak selalu jadi villain. Beberapa platform mulai menguji fitur seperti "hidden likes" atau "usage reminders" untuk mengurangi FOMO. Masalahnya, selama bisnis mereka tergantung pada attention economy, sulit menghilangkan desain yang bikin kita kecanduan. Kuncinya adalah kesadaran diri: kapan harus berhenti scroll, dan kapan harus hidup di dunia nyata.
Baca Juga: Cara Aman Beli Follower Instagram & Tips Meningkatkannya
Cara Mengatasi FOMO di Kalangan Generasi Muda
Mengatasi FOMO itu nggak harus dengan menghapus semua media sosial—tapi lebih ke mengubah cara berinteraksi dengan teknologi. Pertama, coba teknik digital detox: alokasikan waktu khusus tanpa gadget, misalnya 1 jam sebelum tidur atau saat makan. Mayo Clinic menyarankan ini untuk mengembalikan fokus ke hal-hal yang benar-benar penting.
Kedua, latih diri untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Nggak semua tren harus diikuti, nggak semua viral challenge wajib di-join. Psikolog Dr. Jean Twenge bilang Generasi Z perlu belajar bilang "Nggak apa-apa ketinggalan" pada hal-hal yang nggak relevan dengan nilai hidup mereka.
Ketiga, aktif curate konten yang dikonsumsi. Unfollow akun yang bikin kamu merasa kurang, dan ikuti yang memberi inspirasi positif. Platform seperti Instagram sekarang punya fitur "mute" atau "snooze" untuk sementara menghilangkan trigger FOMO.
Yang paling krusial: bangun kebiasaan offline yang memuaskan. Menurut Harvard Health Publishing, kegiatan seperti olahraga, baca buku, atau ngobrol langsung dengan teman bisa mengurangi ketergantungan pada validasi digital.
Terakhir, ingat bahwa media sosial itu highlights reel—bukan dokumenter lain lain lain. Ketika lihat temanmu pamer liburan mewah, mungkin dia nggak tunjukkan betapa capeknya kerja overtime untuk bayar itu semua. Fokus ke jalanmu sendiri, karena hidup bukan kompetisi.
Baca Juga: Inovasi Merek Startup dan Branding Usaha Baru
Dampak Psikologis FOMO pada Generasi Z
FOMO pada Generasi Z bukan cuma soal rasa penasaran—ini udah level gangguan psikologis yang serius. Anxiety and Depression Association of America menemukan bahwa 60% Gen Z merasa cemas ketika melihat aktivitas sosial orang lain di media sosial. Mereka sering terjebak dalam siklus: scroll → bandingkan diri → merasa kurang → scroll lagi.
Efeknya bisa nyata banget: gangguan tidur karena kebiasaan begadang buat ngecek notifikasi, sampai penurunan self-esteem. Studi di Journal of Youth Studies bilang remaja yang sering kena FOMO cenderung punya citra tubuh negatif, karena terus membandingkan diri dengan standar "sempurna" di online.
Yang lebih bahaya: FOMO bikin Generasi Z kesulitan men momen momen present. Mereka sibuk mengabadikan konser buat Story, alih-alih menikmati musiknya. Atau makan di restoran mewah tapi matanya nempel di layar buat cek apakah ada yang like fotonya. Psikolog menyebut ini paradox of choice—semakin banyak opsi yang kita lihat, semakin kita nggak puas dengan pilihan sendiri.
Tapi dampak paling mengkhawatirkan? FOMO bisa memicu FOBLO (Fear of Being Left Out), di mana Gen Z melakukan hal-hal nggak authentic cuma demi diterima kelompok. Mulai dari beli barang nggak mampu, sampe ikut challen challen challen berbahaya. Child Mind Institute memperingatkan bahwa ini bisa berkembang jadi gangguan kecemasan sosial kronis.
Intinya, FOMO itu seperti api—bisa memanaskan motivasi, tapi kalau kebanyakan malah membakar kesehatan mental. Generasi Z perlu belajar memadamkannya sebelum kelewat kontrol.
Baca Juga: Panduan Lengkap Audit Profil Backlink Website
Peran Keluarga dalam Menangani FOMO
Keluarga punya peran krusial—tapi sering diabaikan—dalam membantu Generasi Z mengatasi FOMO. Menurut American Academy of Pediatrics, orang tua perlu jadi "digital role model" dulu sebelum menyuruh anak kurangi screen time. Gimana mau ngelarang anak main HP kalau ortunya sendiri sibuh sibuh sibuk scrolling TikTok pas makan malam?
Pertama, bangun komunikasi terbuka tentang penggunaan media sosial. Jangan langsung nyalahin, tapi tanya: "Adek ngerasa perlu ikutin tren ini nggak? Kenapa?" Pendekatan ini direkomendasikan oleh Child Trends untuk membantu remaja berpikir kritis tentang konten yang mereka konsumsi.
Kedua, ciptakan "zona bebas gadget" di rumah—misalnya meja makan atau kamar tidur. University of Michigan Health menemukan bahwa keluarga yang punya aturan tech-free time punya tingkat kecemasan lebih rendah.
Yang nggak kalah penting: ajarkan anak untuk menghargai pengalaman offline. Ajak mereka hiking tanpa pamer di Instagram, atau masak bersama tanpa dokumentasi 10 angle berbeda. Psikolog Dr. Lisa Damour bilang, kegiatan sederhana begini melatih Generasi Z menikmati momen tanpa perlu validasi luarTapiTapi ingat, larangan total malah bikin FOMO makin menjadi. Lebih baik bantu mereka menemukan balance. Misalnya, izinkan pakai media sosial, tapi diskusikan batas waktu dan prioritas. Keluarga yang supportive bisa jadi tameng terbaik melawan tekanan digital.
Baca Juga: Strategi Promosi Destinasi Wisata Lokal
Studi Kasus Fenomena FOMO di Indonesia
FOMO di Indonesia punya ciri khas yang menarik, terutama di kalangan Gen Z perkotaan. Survei Jakarta Post tahun 2023 menunjukkan 73% remaja Jakarta merasa cemas jika tidak mengecek media sosial minimal setiap jam. Kasus ekstremnya: ada mahasiswa di Bandung sampai menjual laptop kuliahnya cuma buat beli tiket konser Blackpink, karena takut dikucilkan dari obrolan teman-temannya.
Fenomena "mager tapi FOMO" juga khas Indonesia—generasi muda malas gerak (mager) keluar rumah, tapi stres kalau lihat teman-temannya nongkrong viral di kafe kekinian. Data dari Kompas menyebut 60% Gen Z Indonesia mengaku pernah beli makanan di tempat trending cuma buat dipajang di Story, meski sebenarnya nggak suka rasanya.
Yang unik: FOMO di Indonesia sering dikaitkan dengan agama dan tradisi. Banyak anak muda yang merasa "wajib" posting buka puasa bareng atau mudik Lebaran biar dianggap masih menjunjung nilai keluarga. Penelitian LIPI menemukan tekanan sosial ini justru lebih kuat daripada FOMO gaya Barat.
Tapi ada sisi positifnya: komunitas seperti @SadarFOMO di Instagram mulai mengedukasi anak muda tentang bahaya kecanduan validasi digital. Beberapa kampus juga sudah memasukkan literasi media sosial dalam program pengembangan diri mahasiswa.
Kasus Indonesia membuktikan bahwa FOMO nggak cuma produk globalisasi, tapi juga dipengaruhi budaya lokal yang unik. Solusinya pun harus disesuaikan dengan konteks sosial masyarakatnya.

FOMO pada Generasi Z dan fenomena milenial terkait tekanan sosial digital menunjukkan betapa teknologi mengubah cara kita berinteraksi. Bedanya, kalau milenial masih punya batas antara dunia online-offline, Gen Z hidup di tengah keduanya tanpa filter. Tapi satu hal yang sama: rasa "ketinggalan" ini sebenarnya ilusi yang sengaja diperkuat algoritma. Solusinya bukan menghindar total dari teknologi, tapi belajar memegang kendali. Karena hidup yang terus dihabiskan untuk mengejar apa yang "trending" justru bikin kita melewatkan hal-hal yang benar-benar berharga.